Selasa, 12 Oktober 2010

good things

nemu artikel baguus di internet niiiih......awesome writer Gosh ..My Idol

Guru DIAJAR MURID MENGAJAR


Kita telah sama-sama tahu bahwa belajar itu dimulai sejak kita dilahirkan, bahkan saat di dalam kandunganpun kita sudah mulai menerima stimulus via sang ibu. Lambat laun kita mulai mampu memberikan penilaian dan perbandingan atas cara kita belajar dan diajar berdasarkan pengalaman, yang bisa dibilang semuanya nyaris disandarkan pada sekedar rasa nyaman dan tidak nyaman semata, sebagai sebuah bentuk penilaian paling primitif dalam mencerna suatu pengalaman. Hingga pada suatu hari, disadari atau tidak, kita akan mulai memilah-milah dari siapa kita belajar, dengan cara apa kita diajar dan kapan kita mau menerima pelajaran, serta sejauh mana ajaran itu kita anggap penting dan bermanfaat. Maka disinilah kita mulai kehilangan kemampuan belajar, karena kita sudah mulai ‘mendikte’ pengalaman kita tentang bagaimana seharusnya kita diajar.

Salah satu kemampuan terbaik manusia adalah dalam hal melakukan adaptasi, baik terhadap lingkungannya maupun dengan sesama manusia disekitarnya, termasuk juga spesies selain manusia tentunya. Kemampuan beradaptasi inilah yang memberikan sumbangan terbesar atas lahirnya bentuk-bentuk budaya dan peradaban. Namun seringkali kemampuan ini tereduksi dengan signifikan karena kita melupakan satu pihak untuk kita adaptasikan juga, yaitu Diri Kita Sendiri. Adaptasi disini tidak dimaksudkan sebagai penyesuaian diri menjadi serupa, melainkan mampu menghadapi segala situasi dan keadaan yang tidak sesuai harapan/keinginan. Kita sibuk diajar tentang toleransi, dan kita pun diajar tentang kasih-sayang serta cinta, namun kita secara natural lebih ingin beradaptasi dengan rasa takut dan kekecewaan, karena hal tersebut adalah hal yang paling kuat dalam memberikan rasa tidak nyaman sepanjang usia hidup kita. Alih-alih semakin piawai dalam teori-teori moralitas, kita malah buta tentang bagaimana menghadapi kebencian dan ketakutan. Lebih jauh lagi, kita malu pada manusia lain yang juga telah dicekoki tentang buruknya kemarahan dan dendam, sehingga kita akan lakukan apapun sejadi-jadinya demi menyembunyikan perasaan itu agar tidak diketahui orang lain bahwa kita memilikinya di dalam diri dan kesulitan untuk mengatasinya. Teriakan batin untuk minta tolong sewaktu-waktu bisa berubah menjadi aib, dan seiring berjalannya waktu, kitapun saling menunggu pemicu untuk saling menyakiti, karena kita belum pernah benar-benar mengerti mengapa rasa yang ‘buruk’ ini terus kita idap.

Perhatikanlah berita-berita di semua media dari seluruh belahan dunia, oplah dan rating hanya akan naik drastis jika kisah yang diangkat adalah tentang pembunuhan, pemerkosaan, perusakan, peperangan, perseteruan, pencurian, kecelakaan, kesesatan, perselingkuhan, skandal, amoral dan lain sebagainya. Bahkan musibah dan aib yang menimpa seseorang lebih memberikan kepuasan untuk dipantau perkembangannya ketimbang mendengar tentang hal-hal yang baik dari orang lain. Lalu mengapa kita cenderung demikian? Mungkin itu semua disebabkan oleh rasa tidak nyaman atas diri kita sendiri yang tersimpan dalam-dalam dan teramat rapat di dasar sanubari kita sehingga kita akan menjadi lebih tenang dan ‘merasa lebih nyaman’ ketika ada berita –terlepas dari benar atau tidak isinya, yang seolah menempatkan kita pada posisi yang lebih baik dari orang yang diberitakan tersebut. “Oh, ternyata orang itu lebih buruk dari saya”; “Ah, ternyata saya masih lebih baik kelakuannya dari mereka itu”; “Ih, kok bisa-bisanya ya melakukan perbuatan semacam itu? Saya sih ga bakalan tega deh!”; “Makanya ikuti aja ajaran yang umum ini, biar ga jadi sesat…”; dan masih ada banyak lagi kalimat serupa yang intinya adalah menekankan bahwa kita ternyata masih lebih baik dari orang lain. Sebaliknya, kita kurang suka mendengar berita keberhasilan dan kebaikan orang lain karena kita jadi ‘dipaksa’ untuk menengok ke dalam diri untuk melihat sudah sejauh manakah kita melakukan kebajikan dan memberi manfaat pada orang lain. Yang satu cukup dengan melihat perbuatan buruk orang lain maka kita akan mendapat kepuasan bahwa kita lebih baik, dan yang lainnya memaksa kita untuk proaktif dalam berbuat lebih baik lagi. Kira-kira, mana ya yang lebih mudah untuk kita jalani? Inilah salah satu cara kita memandang dunia kita sendiri, yang tentunya bukan satu-satunya cara.

Kita mau diajar dengan cara yang kita inginkan padahal ini malah akan menumpulkan kemampuan kita dalam menerima situasi dan keadaan yang tidak sejalan dengan harapan dan keinginan kita. Kita hanya mau belajar dari orang yang tidak pernah berbuat dosa dan kesalahan, sehingga kita akan defensif bila dinasihati oleh orang yang masih punya kekurangan. Bahkan sekiranya kita semua sepakat bahwa para utusan Tuhan adalah orang yang bebas dari kesalahan dan dosa pun kita masih tidak akan mudah untuk menjalaninya dengan alasan bahwa mereka-mereka itu kan pilihan Tuhan, ya jadinya wajar kalau bisa sesuci itu, sedangkan saya kan cuma manusia biasa tempatnya lupa dan khilaf (apa bedanya lupa dan khilaf ya??). Dengan prasyarat dalam belajar yang sedemikian rupa itulah kita malah tidak belajar apapun selain semakin dalam menyembunyikan sifat-sifat yang ditolak norma-norma sosial masyarakat, dan semakin luput pula kita dari kemampuan untuk berdamai dengan diri sendiri dalam pelbagai situasi dan keadaan.

Trend masa kini adalah mendidik anak sesuai minat dan bakatnya agar mereka menjadi dirinya sendiri. Dan yang mendidik pun sebenarnya masih belum tuntas untuk menjadi anak-anak namun kini sudah harus bermain sebagai orang-tua. Kita sibuk ikut kursus parenting tapi kita belum lulus jadi anak-anak. Kan tidak ada anak-anak yang disebut kekanak-kanakan toh? Predikat itu hanya bisa disandang oleh mereka-mereka yang dianggap sudah bukan anak-anak lagi. Bicara minat dan bakat, seharusnya adalah harta karun yang ditemukan dalam proses beradaptasi ketika anak-anak berhadapan pada situasi yang tidak berpihak kepadanya dan mereka menunjukkan suatu pola respon/tindakan yang unik dan khas mereka masing-masing, dan disitulah kita bisa mulai melihat momentum aktualnya sebuah potensi dari anak manusia. Sejatinya seseorang itu akan muncul ke permukaan terutama pada saat yang bersangkutan dalam situasi dan keadaan yang sangat rumit. Jadi apabila dari kecil sudah dibuat senyaman-nyamannya untuk mengikuti maunya sendiri, maka mereka akan kehilangan kemampuan untuk menyikapi ketidak-nyamanan hidup. Lagipula, apa iya sih anak-anak itu mengikuti maunya sendiri sesuai bakat dan minatnya? Bukankah mereka juga mendapat ide dari televisi, teman-temannya, orang-tua, lingkungan, dan lain-lain? Lantas yang manakah keinginan asli mereka sejak awal? Kita senang sekali untuk ikut-ikutan trend sehingga kalau tidak up to date dengan suatu trend maka kita seolah-olah menjadi ketinggalan zaman. Lha wong dari zaman purbakala juga sudah ada kok yang namanya orang-tua, bahkan tidak perlu AHA dan DHA dan produk-produk sejenis lainnya. Merekalah yang membentuk peradaban manusia dan menelurkan inovasi-inovasi yang manfaatnya kita nikmati saat ini. Anak manusia sudah ditakdirkan punya kemampuan berbeda dari mahluk lainnya dimana manusia mampu untuk belajar dengan cara meniru contoh-contoh baik, sekaligus juga untuk belajar dari contoh-contoh buruk sebagai benchmark untuk dihindari. Yang patut disayangkan adalah kita malah ketakutan apabila anak-anak mengalami peristiwa buruk atau melihat contoh negatif yang pada gilirannya membuat kita jadi Guru yang konsisten dalam menunjukkan rasa ketakutan kita atas perkembangan kehidupan di sekitar kita.

Orang-tua tumbuh sambil membawa rasa takutnya akan kegagalan dalam menjalani hidup ini, oleh karenanya terdorong untuk membekali anak-anaknya dengan segudang kemampuan yang belum tentu diperlukan sambil pada saat bersamaan merampas masa kecil mereka yang luar biasa uniknya. Bagaikan seseorang yang akan mendaki gunung namun karena khawatir akan kehabisan bekal sebelum tujuan tercapai maka dia membawa sebanyak-banyaknya bekal yang pada akhirnya malah membuatnya kelelahan dan terhenti langkahnya jauh sebelum dia mampu mendekati tujuannya. Dan anak-anak yang terampas masa kecilnya ini pun menjadi orang-tua juga suatu hari, dan bilamana itu terjadi, maka lingkarannya pun dimulai sudah. Dengarkan saja doa para orang-tua yang menginginkan agar Tuhan tidak pernah memberikan ujian dan cobaan kepada anak-anak mereka, dan meminta agar anak-anak mereka dijauhkan dari musibah. Kalau mau jujur, apakah doa semacam itu memang untuk keselamatan si anak atau untuk kenyamanan dan ketenangan si orang-tua ya? ;)Ingatlah baik-baik bahwa kita hanya bisa tumbuh melalui pintu-pintu adaptasi, bukan pada hal-hal yang sesuai harapan melainkan pada situasi dan keadaan yang menantang kreatifitas dan keberanian kita sehingga kedewasaan mendapatkan tempat untuk terbit dan menjadi semakin nyata.

Para Guru sekarang tiba-tiba dipaksa mengikuti maunya para murid, dan para murid tiba-tiba menjadi lebih mengerti tentang bagaimana sebaiknya mereka diajar. Apakah selalu benar jika dikatakan bahwa tiap-tiap orang tahu apa yang terbaik bagi dirinya sendiri? Atau egonya kah yang akan berjuang untuk memenangkan apa yang dikiranya terbaik bagi dirinya sendiri? Dan demikianlah drama manusia berlangsung terus dan terus lagi hingga kini dan mungkin sampai nanti. Kata-kata yang halus tidak serta-merta akan dipatuhi sebagaimana halnya dengan kekerasan tidak melulu akan menang. Tapi sepertinya trend saat ini ingin mengajak semua orang-tua baik si bapak maupun si ibu untuk menjadi lemah-gemulai, yang nantinya mungkin saja menjadi orang-tua pun akan segera disertifikasi dan perlu mendapatkan Surat Izin Lulus Mendidik Anak (bisa disingkat SILUMAN) hehehe…

Keberanian bukanlah tentang rasa takut untuk menjadi penakut. Belajar pun tidak hanya dari hal positif saja. Belajar adalah tentang bagaimana kita pada akhirnya menjadi Sang Pengamat atas apapun yang tengah berlangsung dilayar pikiran kita yang memberikan vibrasi hormonal ke seluruh bagian tubuh terkait. Kita tidak lagi sibuk dan ribut menutup-nutupi kelemahan kita. Kita akan menemukan para penolong yang akan membantu kita mengatasi apapun itu yang sedang kita alami. Sebagaimana para pecandu yang menyalah-gunakan narkotika, mereka adalah korban-korban dari ketidaknyamanan yang tersembunyi tanpa mendapatkan peluang untuk diakui dan dirangkul oleh belaian kasih entah dari orang-tuanya, lingkungannya, maupun teman-teman bermainnya, karena biar bagaimanapun kasih-sayang adalah kasih-sayang, darimanapun dia datang dan bersemi. Namun tolong diingat baik-baik juga ya bahwa sekalipun yang terpenting adalah kasih-sayang, tapi cowok atau cewek juga ga kalah pentingnya. Jadi jangan bilang bahwa cowok atau cewek ga penting, yang penting kasih-sayang :)) kalo yang ini, saya ga ikutan ya! ;p Apapun itu, kasih-sayang juga bukanlah sesuatu yang membuat orang lain menjadi manja dan terbuai. Kasih-sayang bisa saja muncul dalam bentuk yang paling keras melalui upaya-upaya latihan kedisiplinan dan perdebatan-perdebatan sengit, karena lembut tidak berarti rapuh. Sebagaimana keras dan tegas tidak melulu harus dalam keadaan ‘panas’. Semua adalah paradoks dalam manifestasi tarian Sang Khalik di dalam cermin dimana kiri adalah kanan dan kanan adalah kiri. Namun pada saat yang bersamaan, kiri bukanlah kanan dan vice versa.

Mari temukan pribadi kita yang sesungguhnya sebelum kita meninggalkan lagi dunia ini. Menanggalkan jasad adalah kebajikan tertinggi jika terjadi sebelum mati. Karena mati sebelum mati adalah hidup setelah hidup dimana mati selagi hidup akan membawa kita kepada hidup setelah mati. Dan semoga kita semua akan selamanya bisa…

“NeoSentra”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar